Kira – kira 5 tahun lalu, sepulang kuliah, saya bertemu dengan seorang pengamen cilik yang naik dari halte Rawasari. Selesai ngamen dengan suara yg nggak seberapa kencangnya bahkan kalah total dari deru angin di luar bis, pengamen ini mendekati saya dengan kantong yang tidak terlalu penuh. Bocah laki – laki ini umurnya sekitar 4 atau 5 tahun. Tubuhnya sangat kecil, agak gempal dengan kulit hitam lengket. Pastinya dia belum mandi saat itu.
Pengamen ini, sebut saja namanya Boy, mulai mengajak saya mengobrol. Pertanyaan2 sederhana keluar dari mulut kecilnya: “Kakak sekolah dimana?”, “Kakak umurnya berapa?”, dan lainnya. Lidahnya masih cadel mengucapkan beberapa suku kata yang sulit. Tapi Boy yang jelas2 memiliki kecerdasan lumayan tetap semangat mengulik semua hal mengenai saya. Dia mengangguk2 ketika saya berusaha menjawab pertanyaan dengan penjelasan selengkap namun sesederhana mungkin.
Boy pun mulai bertutur polos tentang hidupnya. Dia bercerita bagaimana dia harus memberi uang ke Om X, membawa uang atau bapaknya marah di rumah, mencuci piring sepulang ngamen, dan banyak lagi. Saya malu menangis di depan Boy saat itu. Mungkin ada ribuan Boy di luar sana, dan mereka harus menanggung beban yang bahkan saya sendiri angkat tangan.
Berdiri dari pagi hingga malam.. Menyanyi sampai suara serak.. Melawan bahaya terlempar dari bis, tertabrak, dan sebagainya.. dan ketika sampai di rumah, bocah sekecil Boy pun harus mencuci piring..
“Boy sekolah dimana?”
Dia diam sejenak. Menunduk beberapa saat, sebelum menjawab, “Nanti kalo tabungan udah cukup Boy sekolah.. Sekarang belom cukup..”
Saya bingung harus bertanya apa lagi.. Maka saya melempar pertanyaan basi, “Udah makan?”
Boy menggeleng. Tapi sedetik kemudian dia nyengir semangat, “Udah deng! Tadi pagi!!”
Sampai terminal, jam menunjukkan pukul 9 lewat, saya menggandeng tangan Boy mendekati warung pecel ayam. Ketika saya memesan seporsi nasi pecel ayam dan bertanya harganya, Boy kelihatan panik. Dia membongkar kantong permennya dan melirik saya bingung.
“Kakak uang Boy nggak cukup..”
Ibu penjual pecel tertawa, “Eh! Elu itu dibayarin sama mbak ini! Bilang makasih!!”
Lucunya, Boy cuek mendengar celoteh si Ibu Pecel. Dia malah melongok dan menanyakan semua hal yang ada di depannya, mulai dari jenis ayam yang digunakan, bumbu, cara menggoreng, apa yang dijual, sampai jam berapa warung buka, dan lainnya. I was amazed knowing bocah spt Boy bisa secerdas ini.
Ketika pecel ayam Boy siap, dia pun lupa dengan saya. Seolah dia belum makan berhari – hari, telinga Boy mendadak tuli. Dia makan dengan lahapnya. Saya pun nggak tega untuk menyela kesenangannya.
Namun saat beranjak keluar dari terminal..
“Kak!” Boy berlari masih dengan tangan penuh sisa nasi. Mulutnya menggembung menyimpan makanan yang belum dikunyah. Dia menggaet tangan saya dan menciumnya. “Makacih..!”
I walk beside you.. Wherever you are.. Whatever it takes.. No matter how far.. Through all that may come.. And all that may go.. I walk beside you
Maaf ya Boy.. Kakak lupa pernah janji sm diri sendiri.. I'd do whatever it takes untuk berusaha meringankan beban kalian.. Kakak lupa dan sibuk dgn masalah sendiri.. I shouldnt be that selfish.. Kakak yakiin.. Janji dn mimpi kakak untuk melihat jalanan bersih dari anak2 seumur kalian dn melihat kalian semua berangkat ke sekolah setiap pagi tanpa kecuali itu pasti kesampaian.. Sama seperti yakinnya kakak dgn cita2 Boy untuk naik mobil bagus, bukannya diusir2 pemilik mobil bagus..
Sederhana, tapi menyentuh Mbak.
ReplyDeleteSaya juga ingin sekali untuk mencoba rutin berbagi dengan "boy" yang lain. tapi saya egois dan sibuk sendiri, rejeki yang saya punya, malah saya habiskan sendiri. Semoga kedepannya menjadi lebih baik..:D