Wednesday, June 1, 2011

Ketika Tirani Kecil Bermunculan.. Mau Dibawa Kemana Otonomi Daerah Indonesia?

Apa yang anda pikirkan jika mendengar kata ‘otonomi daerah’? Otonomi daerah merupakan pembagian sebuah area yang sudah cukup besar menjadi area – area kecil yang diberikan wewenang dan kekuasaan untuk mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah dan daerah masyarakat itu sendiri. Meskipun Indonesia telah melakukan pemekaran daerah sejak era berdirinya Republik ini, namun kuantitas daerah yang menuntut otonomi meningkat tajam di era reformasi. 

Tercatat sejak tahun 1999, beberapa daerah yang telah dimekarkan adalah Maluku Utara dengan ibukota Ternate dari Provinsi Maluku, Banten dengan ibukota Serang dari provinsi Jawa Barat, Kep. Bangka Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, Gorontalo dengan ibukota Gorontalo, Irian Jaya Barat dengan ibukota Manokwari, Kep. Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, dan Sulawesi Barat dengan ibukota Mamuju. Perkembangan jumlah daerah di Indonesia pun melonjak dari 27 provinsi di tahun 1998 menjadi 33 provinsi dan 489 Kabupaten atau Kota di tahun 2008.


Namun di balik semangat memisahkan diri tersebut, tersimpan sejumlah masalah besar yang cukup mengejutkan. Pada faktanya, 80 persen dari 205 wilayah di Indonesia yang telah dimekarkan hingga tahun 2010 dinyatakan bermasalah. Meskipun permasalahan pemekaran daerah ini masih dalam tahap peninjauan ulang, namun hingga tahun 2010, 150 usulan pemekaran wilayah dari seluruh wilayah di Indonesia diterima oleh Depdagri RI. Dari 150 usulan tersebut, 90 persennya tidak memenuhi persyaratan dan 75 persen diantaranya tidak mendapat izin dari gubernur dan DPRD yang menjadi syarat mutlak.
Cita – cita awal dari pemekaran wilayah dan pemberian wewenang khusus harusnya untuk mensejahterakan masyarakat. Diharapkan, setiap daerah mampu lebih fokus untuk memberikan perhatian pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat dan pengelolaan kepentingan daerahnya. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah menindaklanjuti keinginan berbagai daerah untuk melepaskan diri dari daerah induknya dan membentuk daerah otonom baru. Namun, pemekaran daerah yang seharusnya menjadi solusi ketimpangan pembagian jatah aset dan sumber daya justru menciptakan masalah baru seperti pengalihan aset yang tidak lancar dan sengketa batas wilayah.


Berbagai konflik lahir di sejumlah daerah pasca pemekaran wilayah, seperti perebutan aset dan pendapatan daerah antara Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, antara Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas di Sumatera Selatan, dan lainnya. Selain itu, pemilihan kepala daerah secara langsung juga menimbulkan kerusuhan pasca penetapan hasil penghitungan suara, seperti kerusuhan di Kota Binjai di Sumatera Utara, Tuban di Jawa Timur, dan sengketa pilkada di Maluku Utara.


Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa otonomi daerah yang awalnya dicetuskan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan ternyata tidak menunjukkan perbaikan taraf kehidupan masyarakat yang signifikan. Maka pertanyaan baru pun muncul: apakah otonomi daerah telah melenceng jauh dari tujuan mulianya? Permasalahan apakah yang dibawa serta oleh Otonomi Daerah yang justru mengkerdilkan daerah itu sendiri? Apakah pemekaran wilayah itu sendiri merupakan aspirasi masyarakat? Karena bagaimanapun, pemekaran wilayah memiliki implikasi yang sangat besar terhadap konteks ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan.


Otonomi Daerah diunggulkan sebagai salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global. Dengan otonomi daerah, mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah diharapkan dapat dibangun sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, berkurangnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, pemerintah daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global. 


Semenjak kemunculan Otonomi daerah yang bertujuan untuk mengimplementasikan gagasan desentralisasi yang bertujuan untuk membangun tata kelola baru yang lebih baik pada pemerintahan di Indonesia, prinsip – prinsip yang harus dimiliki oleh Otonomi daerah untuk bisa mencapai tujuannya yakni: adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri; dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di luar  batas-batas wilayahnya; Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah; Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat; dan pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.


Namun setelah berjalan lebih dari satu dasawarsa, efek dari otonomi daerah makin dipertanyakan oleh banyak pihak. Berbagai permasalahan muncul dalam implementasi otonomi daerah. Implementasi Otonomi Daerah membawa beberapa persoalan yang harus terus dievaluasi dan disempurnakan supaya mampu mencapai tujuan mulianya. Permasalahan Otonomi Daerah antara lain:


1.    Kewenangan yang tumpang tindih
Peletakan kewenangan antara di Kabupaten kota atau provinsi menjadi salah satu masalah dalam otonomi daerah. Selain itu, kewenangan antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku baik aturan yang lebih tinggi ataupun lebih rendah menjadi masalah kental dalam pelaksanaan otonomi daerah.
2.    Anggaran
Yang banyak disoroti dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah masalah anggaran dimana pemerintah daerah masih lemah dalam mengeluarkan kebijakan untuk menarik investasi dari luar. Selain itu, banyak terjadi masalah dimana keuangan daerah tidak mencukup sehingga pembangunan terhambat. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD serta seringnya kejadian dimana keinginan masyarakat bertabrakan dengan kepentingn elit dalam penetapan anggaran belanja daerah mencerminkan kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan publik.
3.    Pelayanan Publik
Masalah penting yang seharusnya dapat diselesaikan dengan otonomi daerah adalah pelayanan publik dimana setiap daerah yang telah diberikan wewenang khusus diharapkan dapat mempermudah masyarakat yang memiliki keperluan administratif. Namun pada faktanya, banyak daerah otonom yang memiliki kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik sehingga standar pelayanan pun menjadi tidak jelas.
4.    Orientasi Kekuasaan
Kepentingan elit lokal menjadi lebih jelas dalam otonomi daerah dimana kalangan elit memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk menyukseskan kepentingan politiknya dengan memobilisasi masa dan mengembangkan sentimen seperti ‘putra daerah’ dalam pemilihan kepala daerah.
5.    Pilkada Langsung
Meskipun tidak diatur dalam UUD, pemilihan kepala darah secara langsung tetap diterapkan. Hal ini berarti jumlah anggaran yang sangat besar harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini.
6.    Tidak Ada Grand Desain
Hingga saat ini, otonomi daerah masih dilakukan tanpa grand desain dari pemerintah pusat. Prakarsa pemekaran wilayah masih muncul dari masyarakat di daerah sehingga lebih mencerminkan kepentingan elit daerah dan mengesampingkan kepentingan nasional secaa keseluruhan.


Dalam pelaksanaan otonomi daerah, secara politik, banyak ditemukan bahwa aspirasi rakyat dimanipulasi demi kepentingan elit daerah. Di beberapa daerah bahkan ditemukan rezim – rezim lokal yang muncul bak diktator baru yang menguasai sebagian besar aset, fasilitas, SDA, dan sumber daya lainnya.


Yang lebih mengejutkan lagi, kegagalan otonomi daerah sebagai sarana untuk membangun kesejahteraan daerah telah dibuktikan dengan fakta banyaknya daerah yang justru mengalami kemunduran setelah diberlakukan pemekaran wilayah. Dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun pertama pasca pemekaran, ditemukan bahwa hampir separuh dari 179 kabupaten/ kota daerah otonom mengalami kemunduran. 


Selain itu, kesenjangan kesejahteraan antar daerah pun meningkat. Hal ini diakibatkan oleh pemaksaan pemekaran wilayah dari daerah yang tidak memiliki SDA yang memadai. Disaat daerah yang SDA-nya kaya dan melimpah ruah, daerah otonom lain yang kering kerontang harus berjuang karena anggarannya hanya mampu memenuhi belanja rutin pemerintahan saja. Pemekaran wilayah pun semata – mata merupakan euforia demokrasi dan pemenuhan kepentingan elit lokal untuk menjadi penguasa di eksekutif dan legislatifnya.  Bukankah hal ini ironis mengingat pihak yang meneriakkan pemekaran wilayah biasa menyebut diri mereka sebagai putra daerah?


Pemerintah pun bukannya tidak menyadari kegagalan otonomi daerah ini. Hasil evaluasi terhadap pemekaran 205 provinsi/ kabupaten/ kota di Indonesia sejak 1999 membuahkan beberapa catatan kritis bagi pelaksanaan pemekaran wilayah ini, yakni: pertama, belum jelasnya kebijakan pemerintah terhadap pemekaran; kedua, pemekaran banyak dilakukan dalam kerangka pertimbangan politis; ketiga, kurangnya dukungan pertimbangan demografis, geografis, dan kesisteman; keempat, pelaksanaan Daerah Otonomi Baru pada suatu daerah terlalu terburu – buru dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan; kelima, belum dilakukannya langkah yang konkrit terhadap upaya percepatan pembangunan kawasan perbatasan. 


Berbagai masalah dan catatan yang telah dikaji oleh pemerintah pusat diharapkan mampu menghambat laju pemekaran wilayah di Indonesia. Karena tentunya, setiap kebijakan dan keputusan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sesuai dengan semangat demokrasi, harus berbasis pada kepentingan rakyat dan bukannya kepentingan elit lokal semata.


Recommended for Reading:
Anonim, 80% Pemekaran Wilayah di Indonesia Bermasalah, 21 Juni 2010, http://www.antaranews.com/berita/1277104362/80-pemekaran-wilayah-di-indonesia-bermasalah
Anonim, Otonomi Daerah, http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/
Anonim, Pemekaran di Indonesia Apa Sebenarnya Yang Dicari, 29 May 2010, http://cdt31.org/utama/?p=37
Anonim, Studi Politik Lokal : Pertautan Kepentingan Antar Elit, 16 Juni 2010, http://www.pemilihanumum.net/studi-politik-lokal-pertautan-kepentingan-antar-elit/15/
Arbain, Taufik, Otonomi Daerah dan Implikasi Kebijakan Publik, http://m.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2011/3/29/80123/Otonomi-Daerah-dan-Implikasi-Kebijakan-Publik
Asaddin, Fuad, Pemekaran Wilayah di Indonesia, 27 Juli 2010, http://www.setdaprovkaltim.info/perbatasan/pemekaran-wilayah-di-indonesia/
Handoko, Rudy, Problem Kesenjangan Antar Daerah di Era Otonomi, 26 Desember 2008, http://fasilitator-masyarakat.org/problem-kesenjangan-antar-daerah-di-era-otonomi/
Malissa, Syelvia, Permasalahan Otonomi Daerah, 2 November 2010, http://syelviamalissa.blogspot.com/2010/11/permasalahan-otonomi-daerah.html?zx=924d7963114cc086
Mardiasmo, Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, Juni 2002, http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_3.htm
Suwardiman, Pemekaran Daerah, Mencari Solusi atas Dilema Pemekaran, 21 Mei 2008, http://www.madani-ri.com/2008/05/23/pemekaran-daerah-mencari-solusi-atas-dilema-pemekaran/

No comments:

Post a Comment

Please drop your comment here!! Thanks :D